Mengenal Lebih Dekat Hardiansyah, Marbut Masjid Darul Muttaqin
Bagi Hardiansyah, masjid bukanlah tempat untuk mencari penghasilan, melainkan tempat menjalankan ibadah kepada Allah Swt. Karena itulah ia tidak pernah mengharapkan penghasilan dari pengabdiannya sebagai marbut sekaligus imam di
Masjid Darul Mutaqqin, Palangka Raya. Belasan tahun lamanya ia mengabdi sepenuh hati untuk masjid ini.
KETIKA saya (penulis, red) melangkahkan kaki memasuki masjid, terlihat dua orang sedang asyik bercakap. Saya pun menghampiri keduanya dan menyampaikan tujuan kedatangan. Dengan ramah, salah satunya memperkenalkan diri dan bersedia untuk diwawancarai. Dia adalah Hardiansyah, marbut Masjid Darul Muttaqin sekaligus merangkap imam masjid. Sudah sekitar 17 tahun lamanya ia mendedikasikan diri menjadi marbut sekaligus imam. Anak keempat dari tujuh bersaudara ini merantau dari Martapura ke Palangka Raya tahun 1990. Di Palangka Raya, Hardiansyah muda
bekerja sebagai pelayan di salah satu toko sepatu dan tas. Pekerjaan itu ia jalani tahun 1990-1995. Pada akhir 1995, Hardiansyah mencoba menjadi wirausaha dengan membuka toko suvenir yang masih eksis hingga sekarang.
“Saya dulu kan pernah menjadi pelayan di salah satu toko sepatu dan tas, itu pulangnya sekitar pukul 21.00 WIB ke atas, jadi saya tidak dapat menjaga waktu ibadah,” jelasnya kepada Kalteng Pos, beberapa waktu lalu. Hardiansyah menikahi Neneng Sariaty tahun 1993, dan dikaruniai empat orang anak. Muhammad Ayyub, Siti Hardi Iyati, Akhriyadi Mubarak, dan Khairunnisa. Bahkan kini ia sudah memiliki empat cucu. Hardiansyah juga menjadi saksi hidup berdirinya Masjid Darul Muttaqin. Salah satu orang yang turut meletakkan batu pertama pembangunan masjid yang terletak di Jalan Badak, Palangka Raya itu. Tahun 1993 lalu. Saat itu diajak oleh ayah mertuanya. Secara bertahap, mereka membangun tempat ibadah.
“Saya hanya ikut meletakkan batu pertama saja, tapi tidak ikut dalam proses membangun,” ujarnya. “Saat itu masih berupa musala, belum menjadi masjid,” tambahnya menegaskan. Barulah sekitar tahun 2005, Hardiansyah dan kawan-kawan
beserta jemaah berupaya membangun ulang musala tersebut menjadi masjid.
Sehari-hari pria berusia 55 tahun itu selalu mengabdi di Masjid Darul Muttaqin sebagai marbut. Menjaga tempat ibadah itu tidak semudah yang dibayangkan. Seperti menjaga waktu salat, membersihkan karpet, tempat sampah, tempat wudu, dan yang paling penting, jangan sampai ada najis dalam masjid. “Jangan sampai ketika jemaah mau beribadah, masjidnya kotor,” kata Hardiansyah. Menurutnya, agar masjid selalu ramai didatangi jemaah, caranya adalah dengan menjalin silaturahmi keakraban dengan sesama jemaah, tidak sombong dengan masyarakat, serta membuat jemaah merasa nyaman saat beribadah di masjid. “Misal ada jemaah baru beribadah di masjid, itu kita tanya namanya siapa, asalnya dari mana, tinggal dengan siapa, sehingga orang itu akan enjoy dengan kita dan bisa merasakan masjid ini milik dia juga,” imbuhnya. Ketika ditanya perihal upah yang diterimanya, Hardiansyah tak ingin menyebut. Baginya masjid bukan tempat untuk mencari penghasilan, melainkan tempat beribadah. Karena itulah ia tidak pernah mengharapkan penghasilan dari masjid. Namun jika diberi, ia pun tidak mungkin menolak, karena akan dinilai sombong. “Dari dahulu hingga sekarang saya tidak memikirkan besarnya gaji dari sini, saya ikhlas dikasih berapa pun,” ujarnya.
Yang diterima Hardiansyah selama menjadi marbut sekaligus imam salat yakni Rp2 juta per bulan. Tak sedikit juga orang memintanya ke rumah dalam rangka acara tasmiyahan, tahlilan, dan syukuran. Hardiansyah punya moto yang jadi pegangannya; Ayo menghidupkan masjid, jangan mencari penghidupan di masjid.
Untuk menghidupi keluarganya, Hardiansyah menjalankan usaha dagang dengan membuka toko di Jalan Ahmad Yani samping gedung BRI. Kakek dari empat cucu ini berjualan suvenir pernikahan dan perhiasan rumah tangga seperti bunga plastik, bunga kain, dan guci. Lelaki yang akrab disapa Abah Ayyub ini pernah menjalankan
ibadah umrah bersama istri pada 2011 lalu. Apabila suatu waktu ada kesempatan untuk ibadah haji, ia akan melakukannya secara sungguh-sungguh. “Jika ditanya apakah ingin menunaikan haji, jawabannya pasti mau, siapa sih yang tidak mau,” tuturnya. Hardiansyah menambahkan, menunaikan ibadah haji merupakan salah satu cara untuk menyepurnakan kehidupan seorang muslim, yakni menyempurnakan rukun Islam. “Syahadat kan sudah kita ucapkan, salat sudah kita jaga, puasa lagi ditunaikan, kalau zakat (mal) alhamdulillah sudah mampu, umrahnya pun sudah, hajinya belum,” tambahnya. Pria berbadan tegap ini sangat disukai masyarakat sekitar Masjid Darul Muttaqin. Hal ini diungkapkan oleh salah satu warga bernama Heri. Menurutnya, Hardiansyah merupakan sosok yang ramah,
murah senyum, dan mudah bergaul dengan siapa saja. “Beliau (Hardiansyah, red) sangat disukai warga sekitar sini, karena merupakan orang yang sangat baik, ringan tangan, dan tidak sombong,” ungkapnya. (ce/ram)