Ombudsman Juga Soroti Daerah Ber-SPM Rendah

oleh -33 Dilihat

PALANGKA RAYA-Standar pelayanan minimal atau SPM merupakan salah satu tolok ukur yang mencerminkan kualitas pelayanan publik di suatu daerah. Inspektorat Daerah Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) telah mengeluarkan SPM 2023 yang mendata skor pelayanan publik 14 kabupaten/kota di Kalteng. Hasilnya, hampir seluruh daerah dinilai perlu meningkatkan kualitas pelaya­nan publik, mengingat tidak ada satu pun yang mencapai angka 90 persen.

bannerads728x90
Raden Biroum Bernardianto

Ombusman RI Perwakilan Kalteng turut menyoroti indeks SPM 2023 yang dikeluarkan Inspektorat Daerah Provinsi Kalteng itu. Kepala Ombudsman RI Perwakilan Kalteng, Raden Biroum Bernardianto mengatakan, SPM merupakan tolok ukur yang digunakan untuk pedoman penyelenggaraan pelayanan dan acuan penilaian kualitas pelayanan, sebagai kewajiban dan janji penyelenggara kepada masyarakat dalam rangka pelayanan yang berkualitas, cepat, mudah, terjangkau, dan terukur, sebagaimana amanah Undang-Undang (UU) Nomor 25 Tahun 2009. Penyelenggara berkewajiban menyusun dan menetapkan standar pelayanan dengan memperhatikan kemampuan penyelenggara, kebutuhan masyarakat, dan kondisi lingkungan sesuai Pasal 20 ayat 1 UU Nomor 25 Tahun 2009.

“Pemerintah daerah selaku penyelenggara pelayanan publik wajib patuh terhadap standar pelayan publik minimal sesuai yang diamanatkan oleh aturan perundang-undangan,” ujar Biroum kepada Kalteng Pos, Sabtu (25/5).

Nilai SPM yang rendah, ujar Biroum, menggambarkan penyelenggara pelayanan publik abai pada kewajiban memberikan pelayanan publik yang prima kepada masyarakat, mengingat kepatuhan terhadap SPM merupakan tolok ukur awal pemberian pelayanan publik. Rendahnya kualitas standar pelayanan yang tercermin pada skor SPM, kata dosen Universitas Muhammadiyah Palangka Raya itu, dapat mengakibatkan berbagai jenis maladministrasi berikutnya yang didominasi oleh perilaku aparatur atau secara sistematis terjadi pada instansi pelayanan publik.

“Beberapa tindakan maladministrasi itu seperti ketidakjelasan prosedur, ketidakpastian jangka waktu layanan, pungli, korupsi, dan ketidakpastian pelayanan perizinan investasi,” sebutnya.

Kemudian, tindakan maladministrasi lain yang berpotensi terjadi adalah kesewenang-wenangan yang pada akhirnya berdampak secara makro, mengakibatkan rendahnya kualitas pelayanan publik, sehingga masyarakat tidak terlayani dengan baik.

“Kepercayaan publik terhadap aparatur dan pemerintah menurun, itu berpotensi mengarah pada apatisme publik,” ucapnya.

Dari berbagai konsekuensi di atas, Biroum menyebut penyelenggara pelayanan publik yang mendapatkan nilai rendah dapat diasumsikan kurang memberikan perhatian terhadap kualitas pelayanan kepada masyarakat, yang bisa berakibat timbulnya perilaku maladministrasi yang dapat mengarah kepada praktik KKN.

“Kondisi demikian pada akhirnya berdampak pada pelayanan publik yang buruk dan pada akhirnya pencapaian hasil pembangunan tidak optimal. Karena itu, pemerintah daerah selaku penyelenggara pelayanan publik wajib berbenah diri dan taat terhadap kewajiban pemenuhan standar pelayanan,” jelasnya.

Pemerintah daerah perlu segera melakukan pembenahan terhadap pelayanan publik. Mengenai mana yang perlu dibenahi lebih dulu, Biroum menjelaskan, berdasarkan konsep good government dan good governance serta amanah Undang-Undang Pelayanan Publik, maka seharusnya hal ini wajib dilaksanakan di tiap sektor pelayanan publik, karena merupakan sebuah sistem yang di dalamnya saling terkait dan mendukung untuk mewujudkan capaian pembangunan.

“Namun jika harus memilih, maka sektor pelayanan dasar merupakan sektor prioritas untuk dibenahi lebih dahulu, seperti pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum, perumahan rakyat dan kawasan permukiman, ketenteraman dan ketertiban umum, serta perlindungan masyarakat dan sosial,” tuturnya.

Biroum mengakui, langkah pembinaan yang dilakukan oleh Inspektorat Daerah Kalteng terhadap pemda bertujuan meningkatkan SPM masing-masing daerah. Tentunya sudah dilakukan selama ini.

“Namun melihat hasil yang kurang memuaskan, bahkan tidak satu pun yang mencapai 90 persen, maka perlu dievaluasi kembali langkah-langkah pembinaan yang sudah dilakukan, agar ke depannya lebih efektif,” ujarnya.

Menurutnya, tidak hanya pembinaan terhadap penyelenggara pelayanan publik yang perlu ditingkatkan. Lebih jauh adalah mendorong peran Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) di daerah agar memiliki motivasi kinerja yang lebih meningkat lagi.

Sebelumnya, Inspektur Daerah Saring menyebut nilai SPM di suatu daerah idealnya berada di angka 90 persen. “Idealnya sekitar 90,” ucapnya.

Sementara itu, Direktur Barometer Kebijakan Publik dan Politik Daerah (Bajakah) Institute, Farid Zaky Yopiannor menyebut perlu ada komitmen kuat dari kepala daerah untuk mendongkrak skor SPM, dengan memberikan prioritas intervensi program pada masing-masing indikator di tiap bidang.

“Koordinasi lintas PD juga perlu dievaluasi kembali, apakah sudah sejalan dengan pencapaian SPM atau hanya bersifat formalitas prosedural saja (as business as usual),” ungkapnya, Sabtu (25/5).

Ia menilai pelayanan publik di sektor kesehatan dan pendidikan selama ini belum optimal. Merujuk pada kualitas pelayanan publik kesehatan di unit terkecil seperti puskesmas, umumnya di daerah-daerah pelosok memiliki puskesmas, tetapi tidak ada tenaga kesehatan (nakes).

“Pendidikan juga demikian, sarpras pendidikan terjadi kesenjangan yang luar biasa di beberapa daerah, ada perbedaan kualitas antara sarpras pendidikan di perdesaan dan perkotaan, ini menyumbang catatan merah pada SPM suatu daerah,” tuturnya. (dan/ce/uni)