Ketika Kedamangan Menyelesaikan Perselisihan Antarwarga Dayak
Kasus pemukulan kelompok Panglima Pajaji terhadap Andri selaku pegawai SPBU Km 12 Palangka Raya akhirnya diselesaikan secara adat. Proses perdamaian atau mediasi adat tersebut dipimpin damang Jekan Raya, Kardinal Tarung.
AGUS JAYA-IRPAN JURAYZ, Palangka Raya
PANGLIMA Pajaji atau yang bernama asli Agustinus Luki dan Andri sepakat untuk berdamai dan tidak lagi memperpanjang persoalan. Keputusan untuk berdamai itu disepakati setelah diadakan pertemuan adat antara kedua belah pihak di Kantor Kedamangan Kecamatan Jekan Raya, Jumat (26/1).
Damang Jekan Raya, Kardinal Tarung yang memimpin mediasi tersebut, membenarkan bahwa kedua belah pihak telah sepakat untuk berdamai.
“Betul, memang ada pertemuan itu, kedua pihak sudah sepakat berdamai dan masalah dianggap selesai,” kata Kardinal via telepon.
Ia menerangkan, mediasi adat yang dilaksanakan itu dihadiri lebih dari tiga puluh orang. “Dari pihak Pangkalima Pajaji sendiri (yang datang) ada lebih tiga mobil,” bebernya.
Hadir juga perwakilan dari Dewan Adat Dayak Kalteng yang diwakili Ingkit Djaper, Andreas Djunaidi selaku Ketua Kerukunan Warga Dayak Ngaju Kahayan, dan sejumlah warga.
“Sementara dari kedamangan, ada saya dan dua mantir adat kedamangan Jekan Raya, yakni Rudy Irawan dan Suparan A Gaman,” jelas Kardinal sembari menambahkan bahwa pertemuan tersebut dipantau oleh pihak keamanan.
Lebih lanjut ia mengatakan, posisi kedamangan dalam perkara itu adalah sebagai penengah sekaligus juru damai untuk penyelesaian konflik yang terjadi di masyarakat, khususnya masyarakat adat Dayak.
Hal tersebut sesuai dengan aturan yang tertuang dalam Perda Provinsi Kalteng Nomor 16 Tahun 2008 tentang Tugas Kelembagaan Adat. Dalam bab 5 Pasal 9 ayat -1 huruf C tertera aturan penyelesaian sengketa secara adat. “Di situ tugas damang sebagai penengah dan pendamai dalam penyelesaian sengketa adat berdasarkan hukum adat,” terang Kardinal.
“Alhamdulillah kedua belah pihak sepakat untuk berdamai, jadi sengketa dinyatakan selesai dan ditutup,” tambahnya.
Sebagai bentuk perdamaian, baik Panglima Pajaji maupun Andri sepakat untuk membuat ikatan persaudaraan.
“Mereka telah menjadi saudara, tadi dibuat acara dengan minum dari satu satu sumber air (yaitu) dari satu gelas (yang sama),” beber Kardinal perihal prosesi adat perdamaian kedua pihak.
Meskipun telah ada kesepakatan perdamaian antara kedua belah pihak, tetapi sesuai aturan atau hukum adat, kedua belah tetap mendapat sanksi adat.
Kardinal mengatakan, sanksi adat terhadap kedua pihak disesuaikan dengan bukti atau fakta-fakta dalam peristiwa yang terjadi di SPBU Jalan Tjilik Riwut Km 12. “Semuanya kami kaji dan kami tinjau berdasarkan hukum sebab akibat,” ucapnya.
Menurutnya, tidak mungkin suatu keributan muncul tanpa ada sebab. Dalam menyikapi suatu peristiwa atau persoalan, seseorang juga wajib bersikap rasional. Atas dasar pertimbangan itu, pihak kedamangan Jekan Raya menjatuhkan hukuman berupa teguran tertulis agar tidak mengulangi perbuatan serupa.
“Kedua pihak diberi teguran untuk tidak mengulangi perbuatan yang sama ke depannya, (mereka) diminta berhati hati dan menjaga tutur kata, serta lebih mengedepankan pemikiran rasional, bukan emosional,” jelas Kardinal terkait isi teguran tertulis yang diberikan pihak kedamangan Jekan Raya kepada Panglima Pajaji dan Andri.
Selain itu, terhadap Panglima Pajaji juga dikenakan hukuman tambahan berupa denda, yaitu menanggung biaya pesta adat untuk perdamaian itu. “Panglima Pajaji dikenakan denda menanggung pesta adat, makan minum bersama tadi,” kata Kardinal.
Pihaknya berharap, dengan adanya kesepakatan perdamaian itu, maka persoalan sudah berakhir. Melalui kesepakatan damai secara adat itu, masyarakat adat Dayak bisa memahami terkait makna falsafah belom bahadat.
Kardinal menyebut, dalam falsafah belom bahadat, warga Dayak diajarkan untuk membangun hubungan yang baik dengan Tuhan Yang Maha Esa dan dengan sesama manusia. Warga Dayak juga harus selalu bersikap santun dan menghormati lingkungan di mana pun berada. (*/ce/ala)