RABU, 27 November 2024, menjadi hari bersejarah bagi demokrasi Indonesia. Lebih dari 500 daerah menggelar Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak. Data dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) mencatat, sebanyak 545 daerah, terdiri dari 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota, menyelenggarakan Pilkada serentak ini. Jumlah pasangan calon pun luar biasa, mencapai 1.556 pasangan: 103 calon gubernur-wakil gubernur, 1.158 calon bupati-wakil bupati, dan 284 calon wali kota-wakil wali kota.
Antusiasme ini tak lepas dari meluasnya kewenangan kepala daerah dalam pengelolaan anggaran dan perizinan sejak era otonomi daerah. Selain itu, dua putusan Mahkamah Konstitusi, yakni Putusan MK No. 60/PUU-XXII/2024 tentang ambang batas parlemen dan Putusan MK No. 70/PUU-XXII/2024 tentang batas usia minimum calon kepala daerah, semakin membuka peluang bagi banyak kandidat.
Namun, di balik keriuhan Pilkada serentak ini, para pemenang akan dihadapkan pada tantangan besar, terutama di sektor ekonomi. Meski pemerintah mengklaim fundamental ekonomi Indonesia stabil dengan pertumbuhan 4,95% (yoy) pada kuartal ketiga 2024, tantangan global seperti fragmentasi geoekonomi dan ketegangan geopolitik masih membayangi. Data Kemenko Perekonomian menunjukkan pelambatan ekonomi di beberapa wilayah, seperti Sumatra, Sulawesi, Maluku, dan Papua.
CNBC Indonesia Research mengidentifikasi lima indikator ekonomi yang mengkhawatirkan. Pertama, penurunan PDB, dari 5,11% (Q1 2024) menjadi 5,05% (Q2 2024). Kedua, Purchasing Managers’ Index PMI manufaktur yang terkontraksi pada September 2024 di angka 49,2. Ketiga, deflasi selama lima bulan berturut-turut sejak Mei 2024, mengingatkan pada krisis 1998-1999. Keempat, Lonjakan PHK, meningkat 25,3% pada September 2024 menjadi 52.993 tenaga kerja. Kelima, penerimaan negara yang hanya mencapai 63,4% dari target APBN 2024 sebesar Rp 2.802,3 triliun.
Mimpi besar para pasangan calon kepala daerah yang disampaikan selama masa kampanye dan diadu pada momen debat terbuka di tiap daerah segera dihadapkan pada kenyataan pahit kondisi ekonomi bangsa. Siapapun yang terpilih di ajang Pilkada serentak 2024 punya sederet pekerjaan rumah. Salah satu pekerjaan rumah yang perlu diperhatikan adalah mengupayakan agar APBD-nya tidak defisit sehingga tidak menimbulkan utang baru pada bank daerah.
Menteri Keuangan Sri Mulyani melalui PMK No. 75/2024 telah memangkas batas maksimal defisit APBD 2025. Merujuk beleid tersebut maka batas maksimal kumulatif defisit APBD 2025 sebesar 0,20% dari sebelumnya sebesar 0,24% dari PDB. Selanjutnya batas maksimal defisit APBD 2025 dengan kategori fiskal sangat tinggi sebesar 3,75%, kategori tinggi 3,65%, kategori sedang 3,55%, kategori rendah 3,45%, dan kategori sangat rendah 3,35% dari perkiraan Pendapatan Daerah tahun 2025.
Sedangkan batas maksimal kumulatif pembiayaan Utang Daerah ditetapkan sebesar 0,20% dari proyeksi PDB termasuk pembiayaan untuk mendanai pengeluaran pembiayaan (Pasal 5 PMK No.75/2024). Pengesahan ketentuan ini makin mempersempit ruang gerak fiskal daerah sehingga mewajibkan Kepala Daerah terpilih agar semakin kreatif dan inovatif melakukan “akrobat” fiskal di daerahnya.
Guna mengantisipasi kondisi ini, inovasi fiskal perlu dilakukan seperti reformasi pajak agar terjadi peningkatan kepatuhan dan membantu mengurangi kebocoran, penguatan belanja di sektor pendidikan dan Kesehatan yang merupakan investasi jangka panjang SDM untuk kemajuan wilayahnya, dan peningkatan efisiensi pengeluaran publik agar pos anggaran efektif dan efisien. Selain itu, investasi lokal juga perlu ditingkatkan agar ekonomi daerah menggeliat.
Hal pertama yang dapat dilakukan oleh Kepala Daerah terpilih adalah berfokus pada sektor kunci yang dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi lokal diantaranya sektor pertanian dan perikanan, sektor pariwisata, sektor industri kreatif dan UKM. Selanjutnya perlu dilakukan inovasi kebijakan investasi seperti pendekatan kolaboratif dengan sektor swasta. Makin minimnya ruang gerak fiskal di daerah mendorong kreatifitas dari Kepala Daerah untuk membangun dan/atau memperkuat kolaborasi dengan swasta.
Optimasi keberadaan BUMD dan BUMDes dapat dikolaborasikan dengan swasta untuk mendorong aktivitas ekonomi di daerah. Salah satu contoh sukses hasil kolaborasi pemerintah lokal dan swasta di sektor kunci (pariwisata) adalah ‘Kota Wisata Batu’. Pemerintah Kota Batu, Jawa Timur, berhasil mengundang investor untuk membangun wahana wisata di wilayahnya sehingga dapat mendatangkan wisatawan baik dari dalam maupun luar negeri.
Agar dapat memikat hati investor tentu saja pemerintah perlu menyiapkan insentif fiskal bagi investor dan membangun ekosistem pendukung bagi investasi lokal. Kebijakan ini perlu ditempuh agar ada nilai tambah yang dapat menarik investor ke wilayahnya sehingga multiplier effect dapat dirasakan warganya. Tak hanya itu, pemerintah juga perlu melakukan optimalisasi teknologi digital terutama dalam proses investasi.
Contoh sukses daerah yang mengakselerasi strategi ini adalah Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Pemerintah Kab. Banyuwangi selama lebih dari 10 tahun terakhir berhasil mengembangkan ekonomi wilayahnya terutama dari tiga sektor unggulan yakni: a) pertanian, kehutanan, dan perikanan; b) perdagangan, hotel, restoran; dan c) konstruksi.(*)